Senin, 12 Januari 2015

Kenapa Sutji, bukan Suci

Dari kecil sampai sekarang, saya dipanggil dengan gabungan tiga huruf: U-C-I. Kalau punya nama itu, orang enggak jauh-jauh ngatainnya begini "woi Uci bing Slamet". Agak enggak terima disebut itu, sebab yang punya nama itu artis yang kalemnya masya Allah. Sementara saya beda banget 180 derajat. Hehe. 

Mulai sekolah, baru tahu kalau saya punya nama panjang. Saat mendaftar ke SDN Mekarsari III--sekolah yang paling dekat dengan rumah saya--orang tua mendaftarkan saya dengan nama Suci Desilia. 

"Kok Suci sih?" Agak bertanya saya. Nama yang cuma tiga huruf aja sering dikatain, apalagi nama itu. Mestinya yang menyandang nama itu kan suci, bersih, rapi, dan apa lah itu. Beda banget sama saya yang waktu SD begitu kumal (sekarang lumayan oke lah ahay..)

Ternyata nama itu ada penjelasannya. Saya tanya mama saya. Suci itu diambil dari film yang ditonton ayah dengan judul "Suci sang Primadona". Hoooo berarti keren nama saya. Ngambil dari judul film. Untuk kepanjangannya "Desilia", mama menjawab rada ribet, "Kan Uci lahirnya 25 Desember. Kalau dinamain Natalia, entar disangka Kristen. Makanya yang netral aja: Desilia." Rasis lo mak. Hahaha

Hampir enam tahun saya dengan bangga membubuhkan nama Suci Desilia di buku tulis, di kertas ulangan, LKS Bahasa Sunda yang tidak pernah saya mengerti maksudnya, bahkan di buku harian teman sejawat yang pada masa itu lagi ngetren mencantumkan biodata diri, hobi, makanan favorit, sampai cita-cita di kertas yang dibuat harum oleh penjualnya (supaya mabok kertas hahaha)

Memasuki masa Evaluasi Belajar Tahunan Nasional (Ebtanas) 1998, saya baru tahu kalau nama saya bukan itu. Kalau saya enggak ikut ujian nasional, sepertinya saya enggak bakal tahu nama asli saya. Karena syarat mendaftar ujian nasional, nama saya mesti cocok dengan nama yang tertera di Akta Kelahiran. 12 tahun saya hidup, baru sekali saya lihat Akta Kelahiran dan sedih. Nama saya ternyata: Sutji Decilya. 

Itu bahasa apa lagi? Kalau kata guru SD, nama saya ejaan lama yang pastinya belum disempurnakan. Sementara kata dosen saya, Mister Sahat Sahala Tua Saragih, "Berapa usiamu, Dik? Mestinya dengan nama seperti itu, kamu lahir sebelum tahun 70-an. Karena ejaan lama disempurnakan sekitar tahun 70-an." Ah pak, kau menambah derita saja -_-

Sejak itu, saya selalu sedia telinga ketika guru memanggil untuk membenarkan nama saya. Bayangkan, saya mawas terhadap sebuah nama dari SMP hingga kuliah. Banyak yang salah mengejanya. Mereka biasa menyebutnya secara harfiah yaitu S-U-T-J-I. Hanya guru Bahasa Indonesia dan pegawai Bank BNI di Unpad saja yang bisa mengejanya dengan baik. Haha..

Ejekan nama yang saya kira hanya tren di masa SD, ternyata berlanjut sampai kuliah. Bahkan sampai saya bekerja menjadi wartawan. Biasanya ejekannya begini "Nama lo bener Sutji? Daun Suji dong buat bikin kelepon. Hahaha.." Ah ilah. Candaannya enggak oke banget yaaa.. Nama kepanjangannya pun enggak terhindar dari cercaan anak masa lampau. "Decilya bacanya Dekil Yaaaa?" Heu. 

Belakangan, saya sadar kalau nama saya itu keren. Aha. Setidaknya hanya ada satu nama depan yang sama di Universitas Padjadjaran dan nama itu seorang profesor. Ahahaha udah tua ya... Selain itu, nama saya juga dijadikan nama sebuah apotek entah di mana. Teman saya yang menunjukkannya lewat sebuah gambar. Atau mungkin apotek itu punya saya ya? Ahaha ngarep..

Saya juga bangga dengan nama saya yang jadul nan vintage itu. Setidaknya, lima tahun nama itu terpampang di koran atau situs atau majalah Tempo. Kan beda sendiri nama saya. Daripada nama Anton atau Bambang atau Arif atau Gendar Sadarsana (Hahaha pisss..)

Maksud hati orang tua saya memang memberi nama Suci Desilia. Tapi apa daya, yang mencatat nama untuk membuat Akta Kelahiran waktu itu si bidan kandungan yang mungkin memang tak paham kalau ejaan sudah berganti. Tapi berkat si bidan, nama saya menyimpan hoki sampai saat ini. Asik. 

Imah Kalaya
12 Januari 2015
22.35



1 komentar: