Senin, 12 Januari 2015

Penghapus dan Lima Ratus Perak

Catatan sekolah saya cukup panjang: enam tahun SD, tiga tahun SMP, tiga tahun SMA, dan lima tahun kuliah. Coba saya memutuskan untuk berdagang sejak kecil agar mengikuti darah urang Minang kebanyakan, udah kaya saya sekarang (ya kaliii...) Tapi tetap saja ada yang kurang: saya enggak pernah mengenyam bangku TK. 

Sebelum masuk Sekolah Dasar, mama saya berinisiatif memasukkan saya ke TK. Ini jenjang pendidikan yang enggak mesti sih, tapi kalau anak masuk TK kayanya keren aja gitu di masa itu. 

Pas mau mendaftarkan saya ke Taman Kanak-kanak Cendrawasih yang berada dekat rumah, entah kenapa saya ditolak. Kata Bu Ambar yang punya itu TK--muka orangnya jutek sampe sekarang--usia saya udah lewat untuk dimasukkan ke TK Kecil, tapi juga enggak pas untuk ke TK Besar. 

Mama pun bergumam, "Lah, anak gw udah bisa baca tulis. Penting banget ya soal umur??" Karena malas ketemu Bu Ambar, akhirnya mama mempekerjakan guru pribadi buat saya: uni saya sendiri, Milan. Kira-kira usianya waktu itu 10 tahun. Dia yang mengajari saya membaca dan menulis. Sampai sekarang pun dia masih meminta imbalan atas jasanya waktu kecil dengan ngambil baju dan jilbab saya di rumah. Hahaha. 

Karena sudah bisa membaca dan menulis, sebelum enam tahun, mama mencoba mendaftarkan saya ke SDN Mekarsari III. Eh ternyata masuk. Hehe. Bagus katanya nilai saya. 

Saya rajin belajar. Hitungannya cukup pintar lah waktu kecil (jangan pernah percaya pujian yang datang dari orangnya sendiri hahaha). Tak hanya rajin belajar, saya juga rajin mengoleksi sejak kelas I SD. Apa yang saya koleksi? Haha. Ini masa kelam saya dalam hidup. Jadi mesti disimak. 

Karena ayah dan mama saya bukan orang tua penganut "apa aja yang diminta anak bakal dikasih", uni saya punya cara. Ia coba mempengaruhi saya agar mau mengambil penghapus-penghapus unyu milik teman. Maklum, kami enggak pernah dibelikan hal-hal seperti itu. Tempat pensil bertingkat, penghapus yang tak bisa menghapus tapi wangi dan berbentuk buah-buahan, rautan lucu, atau pensil bongkar pasang yang keren adalah barang-barang yang mungkin hanya dalam mimpi bisa kami miliki (lebai). 

Karena atas dasar tak memiliki, saya pun giat mengambil penghapus milik orang lain. Kenapa penghapus? Karena itu benda kecil yang kadang dihiraukan oleh pemilik. Pintar ya gw? Haha. 

Jadilah saya dan uni mengoleksi tiga atau empat gelas belimbing yang penuh dengan penghapus MILIK ORANG. Haha. Sampai suatu saat, saya kelewatan. Saya menemukan koin 500 perak di tempat pensil Andono. 

Kalau pada enggak tahu siapa dia, baik saya jelaskan. Andono adalah anak pertama Bu Muniah, guru sekaligus wali kelas saya saat Kelas I SD. Bu Muniah itu guru yang baik, tapi anaknya cengeng dan ingusan. Hahaha. 

Karena 500 peraknya hilang, Andono gusar. Dia sudah pasti mengadu ke mamanya. "Mama, mama, duit 500 Andono hilang," kira-kira itu kata Andono sambil menarik ingusnya. Yiacks. 

Saya yang duduk di bangku kedua dari depan mulai merasakan panas di badan. Panas karena merasa bersalah sudah mengambil duit 500 perak yang bagi anak SD jaman baheula bagaikan 50 ribu saat ini (lebai). 

Bu Muniah mulai bertanya ke murid. "Anak-anak, uang Andono sebesar 500 rupiah hilang. Apakah ada yang melihat?"

"Enggak buuu," jawab murid, termasuk saya. Andono pun menangis. Bu Muniah malah kesal sama anaknya. Hahaha

Sejak itu, saya enggak mau ngambil penghapus atau apa pun lagi dari tempat pensil orang. Tapi saya ganti jadi mengambil barang-barang yang ketinggalan di kolong meja sekolah. Dan itu saya lakukan sampai SMP. Hahahahaha

Ini tulisan saya dedikasikan untuk teman saya, Andono, yang sampai nikahannya pun saya enggak pernah mengaku tentang ini. Maaf ya, Andono. Maaf juga buat Bu Muniah. Namamu keren, Bu. 


13 Januari 2015
00.31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar